
Malang
dikenal sebagai salah satu kota tujuan pendidikan terkemuka di Indonesia karena
banyak universitas dan politeknik negeri maupun swasta yang terkenal hingga
seluruh Indonesia dan menjadi salah satu tujuan pendidikan berada di kota ini,
di antaranya adalah Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Muhammadiyah Malang,
dan lain-lain.
Sebutan lain
kota ini adalah kota bunga, dikarenakan pada zaman dahulu Malang dinilai sangat
indah dan cantik dengan banyak pohon-pohon dan bunga yang berkembang dan tumbuh
dengan indah dan asri. Malang juga dijuluki Parijs van Oost-Java, karena
keindahan kotanya bagaikan kota "Paris" di timur Jawa.
Selain itu, Malang juga mendapat julukan Zwitserland van Java karena
keindahan kotanya yang dikelilingi pegunungan serta tata kotanya yang rapi,
menyamai negara Swiss
di Eropa.
Malang juga berangsur-angsur dikenal sebagai kota belanja, karena banyaknya mall
dan factory outlet yang bertebaran di kota ini. Hal inilah yang
menjadikan kota Malang dikenal luas memiliki keunikan, yakni karena
kemiripannya dengan Kota Bandung di Provinsi Jawa Barat, baik dari segi geografis,
julukan, perkembangan kota, dan sebagainya.[1]
Sejarah
Wilayah
cekungan Malang telah ada sejak masa purbakala menjadi kawasan
pemukiman. Banyaknya sungai yang mengalir di sekitar tempat ini membuatnya cocok
sebagai kawasan pemukiman. Wilayah Dinoyo dan Tlogomas diketahui merupakan
kawasan pemukiman prasejarah.[2]
Selanjutnya, berbagai prasasti (misalnya Prasasti
Dinoyo), bangunan percandian dan arca-arca, bekas-bekas fondasi
batu bata,
bekas saluran drainase,
serta berbagai gerabah
ditemukan dari periode akhir Kerajaan Kanjuruhan (abad ke-8 dan ke-9) juga
ditemukan di tempat yang berdekatan.[2][3]
Nama
"Malang" sampai saat ini masih diteliti asal-usulnya oleh para ahli
sejarah. Para ahli sejarah masih terus menggali sumber-sumber untuk memperoleh
jawaban yang tepat atas asal usul nama "Malang". Sampai saat ini
telah diperoleh beberapa hipotesa mengenai asal usul nama Malang tersebut.
Malangkuçeçwara (baca:
Malangkusheswara) yang tertulis di dalam lambang kota itu, menurut salah satu
hipotesa merupakan nama sebuah bangunan suci. Nama bangunan suci itu sendiri
diketemukan dalam dua prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah
yakni prasasti Mantyasih tahun 907, dan prasasti 908 yakni diketemukan di
satu tempat antara Surabaya-Malang. Namun demikian dimana letak sesungguhnya
bangunan suci Malangkuçeçwara itu, para ahli sejarah masih belum memperoleh
kesepakatan. Satu pihak menduga letak bangunan suci itu adalah di daerah gunung
Buring, satu pegunungan
yang membujur di sebelah timur kota Malang dimana terdapat salah satu puncak
gunung yang bernama Malang. Pembuktian atas kebenaran dugaan ini masih terus
dilakukan karena ternyata, disebelah barat kota Malang juga terdapat sebuah
gunung yang bernama Malang.
Pihak yang
lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci itu terdapat di daerah
Tumpang,
satu tempat di sebelah utara kota Malang. Sampai saat ini di daerah tersebut
masih terdapat sebuah desa yang bernama Malangsuka, yang oleh
sebagian ahli sejarah, diduga berasal dari kata Malankuca yang diucapkan
terbalik. Pendapat di atas juga dikuatkan oleh banyaknya bangunan-bangunan
purbakala yang berserakan di daerah tersebut, seperti Candi Jago
dan Candi Kidal,
yang keduanya merupakan peninggalan zaman Kerajaan Singasari.
Dari kedua
hipotesa tersebut di atas masih juga belum dapat dipastikan manakah kiranya
yang terdahulu dikenal dengan nama Malang yang berasal dari nama bangunan suci Malangkuçeçwara itu.
Apakah daerah di sekitar Malang sekarang, ataukah kedua gunung yang bernama
Malang di sekitar daerah itu. Sebuah prasasti tembaga yang ditemukan akhir
tahun 1974
di perkebunan Bantaran, Wlingi, sebelah barat daya Malang, dalam satu bagiannya
tertulis sebagai berikut : “………… taning sakrid Malang-akalihan wacid lawan
macu pasabhanira dyah Limpa Makanagran I ………”. Arti dari kalimat tersebut di
atas adalah : “ …….. di sebelah timur tempat berburu sekitar Malang
bersama wacid dan mancu, persawahan Dyah Limpa yaitu ………” Dari bunyi prasasti
itu ternyata Malang merupakan satu tempat di sebelah timur dari tempat-tempat
yang tersebut dalam prasasti itu. Dari prasasti inilah diperoleh satu bukti
bahwa pemakaian nama Malang telah ada paling tidak sejak abad 12 Masehi.
Nama
Malangkuçeçwara terdiri atas 3 kata, yakni mala yang berarti kecurangan,
kepalsuan, dan kebatilan; angkuça (baca: angkusha) yang berarti
menghancurkan atau membinasakan; dan Içwara (baca: ishwara) yang berarti
"Tuhan". Sehingga, Malangkuçeçwara berarti "Tuhan telah
menghancurkan kebatilan".
Hipotesa-hipotesa
terdahulu, barangkali berbeda dengan satu pendapat yang menduga bahwa nama
Malang berasal dari kata “Membantah” atau “Menghalang-halangi” (dalam bahasa
Jawa berarti Malang). Alkisah Sunan Mataram
yang ingin meluaskan pengaruhnya ke Jawa Timur telah mencoba untuk menduduki
daerah Malang. Penduduk daerah itu melakukan perlawanan perang yang hebat.
Karena itu Sunan Mataram menganggap bahwa rakyat daerah itu menghalang-halangi,
membantah atau malang atas maksud Sunan Mataram. Sejak itu pula daerah tersebut
bernama Malang.
Timbulnya Kerajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli
sejarah dipandang sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang
sampai saat ini, setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota
Malang.
Setelah
kerajaan Kanjuruhan, di masa emas kerajaan Singasari
(1000 tahun setelah Masehi) di daerah Malang masih ditemukan satu kerajaan yang
makmur, banyak penduduknya serta tanah-tanah pertanian yang amat subur. Ketika Islam menaklukkan Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400, Patih Majapahit
melarikan diri ke daerah Malang. Ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan Hindu
yang merdeka, yang oleh putranya diperjuangkan menjadi satu kerajaan yang maju.
Pusat kerajaan yang terletak di kota Malang sampai saat ini masih terlihat
sisa-sisa bangunan bentengnya yang kokoh bernama Kutobedah di desa
Kutobedah. Adalah Sultan Mataram dari Jawa Tengah yang akhirnya datang
menaklukkan daerah ini pada tahun 1614 setelah mendapat perlawanan yang tangguh
dari penduduk daerah ini.
Seperti
halnya kebanyakan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, Kota Malang modern
tumbuh dan berkembang setelah hadirnya administrasi kolonial Hindia
Belanda. Fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi
kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif masih berbekas hingga sekarang,
misalnya ''Ijen Boullevard'' dan
kawasan sekitarnya. Pada mulanya hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda
dan Bangsa Eropa lainnya, sementara penduduk pribumi harus puas bertempat
tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas yang kurang memadai. Kawasan
perumahan itu sekarang menjadi monumen hidup dan seringkali dikunjungi oleh
keturunan keluarga-keluarga Belanda yang pernah bermukim di sana.
Pada masa
penjajahan kolonial Hindia Belanda, daerah Malang dijadikan wilayah
"Gemente" (Kota). Sebelum tahun 1964, dalam lambang kota
Malang terdapat tulisan ; “Malang namaku, maju tujuanku” terjemahan dari
“Malang nominor, sursum moveor”. Ketika kota ini merayakan hari ulang tahunnya
yang ke-50 pada tanggal 1 April 1964, kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi :
“Malangkuçeçwara”. Semboyan baru ini diusulkan oleh almarhum Prof. Dr. R.
Ng. Poerbatjaraka, karena kata tersebut sangat erat hubungannya
dengan asal usul kota Malang yang pada masa Ken Arok
kira-kira 7 abad yang lampau telah menjadi nama dari tempat di sekitar atau
dekat candi yang bernama Malangkuçeçwara.
Kota Malang
mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah kolonial Belanda,
terutama ketika mulai di operasikannya jalur kereta api pada tahun 1879. Berbagai kebutuhan
masyarakatpun semakin meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai
kegiatan. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun
bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat
pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.
Lambang Kota
Malang pada Masa Hindia Belanda
- Tahun 1767 Hindia Belanda memasuki kota
- Tahun 1821 kedudukan pemerintah Belanda di pusatkan di sekitar kali Brantas
- Tahun 1824 Malang mempunyai asisten residen
- Tahun 1882 rumah-rumah di bagian barat dan kota didirikan dan alun-alun dibangun.
- 1 April 1914 Malang di tetapkan sebagai kotapraja
- 8 Maret 1942 Malang diduduki Jepang
- 21 September 1945 Malang masuk wilayah Republik Indonesia
- 22 Juli 1947 Malang diduduki Belanda
- 2 Maret 1947 pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang.
- 1 Januari 2001 menjadi Pemerintah Kota Malang.
Makna lambang
Logo Kota
Malang (Pemerintah Kota Malang)
DPRDGR
mengkukuhkan lambang Kotamadya Malang dengan Perda No. 4/1970. Bunyi semboyan
pada lambang adalah "MALANG KUÇEÇWARA". Motto "MALANG KUÇEÇWARA"
berarti Tuhan menghancurkan yang bathil, menegakkan yang benar. Arti
Warna :
- Merah Putih, adalah lambang bendera nasional Indonesia
- Kuning, berarti keluhuran dan kebesaran
- Hijau adalah kesuburan
- Biru Muda berarti kesetiaan pada Tuhan, negara dan bangsa
- Segilima berbentuk perisai bermakna semangat perjuangan kepahlawanan, kondisi geografis, pegunungan, serta semangat membangun untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Semboyan
tersebut dipakai sejak hari peringatan 50 tahun berdirinya Kotapraja Malang
pada 1964, sebelum itu yang digunakan adalah : "MALANG NAMAKU, MAJU
TUJUANKU", yang merupakan terjemahan dari bahasa Latin
"MALANG NOMINOR, SURSUM MOVEOR" yang disahkan dengan
"Gouvernement besluit dd. 25 April 1938 N. 027". Semboyan baru itu
diusulkan oleh Prof. DR. R.Ng.Poerbatjaraka dan erat hubungannya dengan asal
mula Kota Malang pada zaman Ken Arok.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Malang#Sejarah
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Malang#Sejarah
0 comments:
Post a Comment